Sebelum terjadinya kodifikasi atas hukum tanah yang berlaku di Indonesia, menjadi Hukum Tanah Nasional, terdapat berbagai bentuk hak atas tanah dan berbagai cara penguasaan terhadap suatu bidang tanah. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), maka dilakukan kewajiban untuk melakukan konversi terhadap berbagai jenis hak atas tanah yang ada di Indonesia, menjadi salah satu bentuk hak atas tanah yang dikenal dalam UUPA, yaitu:
1. Untuk Hak Primer: Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP).
2. Untuk Hak Sekunder: Hak Milik atas satuan Rumah Susun (HMSRS), HGB/HGU/HP di atas tanah Hak Milik, Hak Sewa di atas tanah Hak Pakai, dll.
Walaupun batas waktu untuk dilaksanakannya konversi tersebut sudah lama lewat, namun di masyarakat masih terdapat berbagai jenis hak atas tanah maupun bentuk-bentuk penguasaan tanah lainnya yang belum terdaftar. Secara awam, banyak yang beranggapan bahwa tanah-tanah yang belum terdaftar tersebut dianggap sebagai tanah Girik.
Namun demikian, tidak selalu tanah yang belum bersertifikat tersebut adalah tanah girik. Tanah girik adalah tanah bekas hak milik adat yang diakui kepemilikannya dan dapat disertifikatkan menjadi Hak Milik jika pemohonnya adalah perorangan (WNI).
Berbeda dari surat Girik, tanah lain yang tidak memiliki surat girik bisa jadi hanyalah merupakan hak untuk menggarap tanah yang dikuasai oleh Negara (Tanah Negara), hak sewa atas tanah partikelir, atau hanya hak untuk penguasaan suatu bidang tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Negara (Tanah Negara). Untuk jenis tanah yang demikian, yang bersangkutan hanyalah berhak untuk menempati, menggarap dan menguasai tanah tersebut sepanjang tidak ada alas hak lain yang lebih kuat di bawahnya.
Jadi bukan/belum merupakan hak milik atas tanah. Pengalihan hak untuk penguasaan lahan juga tidak bisa dibuat dengan akta jual beli yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena penguasaan lahan bukanlah merupakan hak atas tanah. Yang dialihkan hanyalah hak-hak keperdataan untuk menguasai tanah tersebut. Dengan demikian, biasanya pengalihannya pun dengan menggunakan surat dari Lurah/Camat setempat dengan dihadiri para saksi.
Seseorang yang menguasai suatu tanah secara sah selama 20 tahun berturut-turut tanpa adanya klaim dari pihak lain, berhak untuk mengajukan pengakuan hak pada kantor pertanahan setempat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat :
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.”
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. UU No 5 Tahun 1960 tentanng Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2. PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.